Senin, 15 Mei 2017

Lirik Tao Toba by Trio Rindam.




Tao Toba by Trio Rindam.


WELCOME..
WELCOME TO LAKE TOBA

DI TOPI TAO TOBA I
DANG TARLUPAHON DINGOLU KI
DANG TARHATAHON ULI NI TAO I
TAO TOBA NA ULI

SIAN KUALANAMU TU PULO SAMOSIR
BOLUSAN MU DO KOTA SIANTAR I
TALPAS MA HO TU KOTA PARAPAT I
DISI DO TAO TOBA I

OO…
RO MA HO TU LUAT I
TAO TOBA NA ULI
PASONANGHON NGOLU
PASOMBUHON SIHOL HU
DI LUAT NA ULI

WELCOME ENJOY TO LAKE TOBA
LET’S GET FUN WAY TOGETHER
BERNYANYI BERSAMA
TERTAWA GEMBIRA
DANAU TOBA KITA.




Selasa, 12 Januari 2016

Lisensi dan Waralaba dalam Alih Teknologi di Indonesia

Bab I
A.   Pendahuluan
tidak dapat dipungkiri bahwa pada akhirnya arus informasi dan tranformasi sebagai hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, telah membawa kita ke era yang disebut dengan era globalisasi, salah satunya adalah globalisasi ekonomi, di mana tidak ada satu pun Negara yang bisa berdiri sendiri dan berkembang tanpa melakukan hubungan ekonomi dengan Negara-negara lain. Di Indonesia sistem bisnis dengan franchise berkembang sejak tahun 1980-an, pengembangan franchise dalam 5 tahun se- jak 1985 diperkirakan telah beroperasi 119 (seratus sembilan belas) franchise asing, sedangkan franchise lokal diperkirakan sekitar 32 (tiga puluh dua) perusahaan.[1]
            Usaha waralaba sebenarnya telah lama ada di Eropa dengan nama franchise. pengertian waralaba dapat diambilkan dari pengertian franchising. Franchising (kadangkala disebut orang perjanjian franchise untuk menggunakan kekhasan usaha atau ciri pengenal bisnis di bidang perdagangan/jasaberupa Janis produk dan bentuk yang diusahakan termaksud identitas perusahaan (logo, merek dan desain perusahaan), penggunaan rencana pemasaran serta pemberian bantuan yang luas, waktu/saat/jam oprasional, pakaian usaha atau ciri pengenal bisnis dagang/jasa milik franchisee  sama dengan kekhasan usaha atau bisnis dagang/jasa milik franchisor.


Di Indonesia, perjanjian alih teknologi harus tunduk pada hukum perjanjian yang  berlaku, antara lain ketentuan-ketentuan umum  tentang perjanjian yang diatur dalam Buku III Burgelijk Wetboek atau yang disebut dengan KUH Perdata. KUHPerdata menganut asas kebebasan berperjanjian sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1338 ayat (1) yaitu setiap orang bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan dengan siapa akan membuat perjanjian, bebas untuk menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian, bebas menentukan bentuk perjanjian dan bebas untuk memilih hukum yang berlaku untuk perjanjian tersebut. Namun meskipun begitu perjanjian tersebut harus tetap memenuhi syarat mutlak sah-nya suatu perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Berdasarkan asas kebebasan berperjanjian para pihak berhak menentukan isi dari perjanjian, dalam perjanjian lisensi alih teknologi terkadang ditemukan klausula restriktif atau disebut dengan Restrictive Business Practices (RBP), yaitu klausula membatasi penerima lisensi dalam  menjual produk-produknya.[2]
            Pemberi teknologi disebut dengan licensor, sedangkan untuk penerima teknologi disebut dengan licensee.
Licensee atau penerima lisensi memerlukan perlindungan dalam perjanjian alih teknologi, antara lain yaitu:
a.    Lisensi perlu bersifat eksklusif agar licensee tidak harus membuang energi untuk bersaing dengan pihak ketiga;
b.    Ruang lingkup hak yang diberikan harus lengkap, supaya licensee memang dapat menggunakannya. Jangan sampai misalnya terjadi bahwa yang diperoleh adalah hanya hak manufaktur tanpa mengenai kejelasan dalam hal pemasarannya;
c.    Pembatasan jenis kegiatan yang dituntut oleh licensor adalah memang “calculable” bila ditinjau dari segi teknik maupun finansial dalam menggunakan lisensi yang bersangkutan; dan
d.    Jaminan licencor bahwa lisensi yang diberikan adalah benar-benar lengkap dan dapat berfungsi serta mutunya terjamin jangan sampai licensee hanya memperoleh lisensi yang sebenarnya sudah usang.[3]
Pelaksanaan alih teknologi telah terjadi apabila tenaga kerja Indonesia sebagai penerima teknologi telah mampu membuat alat dan mengoperasikan sendiri teknologi yang dialihkan dari pemberi teknologi. Peran perjanjian alih teknologi sangat penting dalam membantu terciptanya peralihan teknologi yang menguntungkan kedua belah pihak bukan untuk kepentingan pemberi saja. Oleh karena itu, hukum nasional mempunyai peranan yang tidak kalah penting untuk melindungi penerima teknologi agar terhindar dari kerugian yang ditimbulkan dengan adanya alih teknologi. Berdasarkan amanat Pasal 72 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten atau selanjutnya disebut dengan UU Paten yang mengatur bahwa perjanjian lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya kemudian dalam Pasal 73 diatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi diatur dengan peraturan pemerintah, namun sampai saat ini peraturan pemerintah yang mengatur mengenai lisensi yang bersifat komersial belum disahkan sehingga hal ini tentu saja berdampak pada perlindungan hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian lisensi alih teknologi.














B.   Rumusan Masalah

1.    Apa itu Waralaba?
2.    Apa itu Lisensi
3.    Bagaimana kaitan Lisensi dan Waralaba dalam Alih Teknologi di Indonesia?

  
Bab II
Pembahasan

Waralaba (Franchising)
                Waralaba berarti hak untuk menjalankan usaha/bisnis didaerah yang telah ditentukan. Secara historis, waralaba didefinisikan sebagai penjualan khusus suatu prosuk disuatu daerah tertentu dimana produsen memberikan latihan kepada perwakilan penjualan dan menyediakan produk informasi dan iklan, sementara ia mengontrol perwakilan yang menjual produk didaerah yang telah ditentukan.
Terdapat 4 unsur hak kebendaan yang terdapat dalam hak kebendaan yang terdapat dalam hukum waralaba, yaitu:
1.    Hak untuk berusaha dalam bisnis tententu
2.    Adanga hak berupa penggunaan tanda pengenal usaha sekaligus menjadi ciri pengenal, berupa merek dagang atau merek jasa.
3.    Hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain dengan lisensi yang berupa penggunaan rencana pemasaran dan bantuan manajeman dan lain-lain secara luas.
4.    Adanya hak bagi franchisor untuk mendapatkan prestasi dalam perjanjian lisensi tersebut.
Jika kemudian adanya pengalihan terhadap hak tersebut melalui perjanjian lisensi, maka selanjutnya untuk proses pengalihannya tunduk pada asas-asas hukum perikatan. Usulan diatas dimaksudkan, jika terdapat keinginan untuk menempatkan figure hukum waralaba ini kedalam kerangka hukum perdata Indonesia.
            Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. perjanjian dibuat secara sah artinya bahwa perjanjian itu telah memenuhi syarat-asyarat yang ditentukan dalam undang-undang. Artinya perjanjian itu tidak bertentangan dengan Agama dan ketertiban umum, dan tidak bertentangan  dengan kesusilaan, dan undang-undang itu sendiri.
            Perjanjian waralaba dapat dikatakan suatu perjanjian yang tidak bertentangan dengan undang-undang, agama ketertiban umum dan kesusilaan, karena itu perjanjian waralaba itu sah, dan oleh karenanya perjanjian itu menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dan mengikat kedua belah pihak. Pada dasarnya waralaba berkenaan dengan pemberian izin oleh seorang pemilik waralaba (franchisor) kepada orang lain atau beberapa orang untuk menggunakan sistem atau cara pengoprasian suatu bisnis.
Pemberian izin ini meliputi hak untuk menggunakan hak-hak pemilik waralaba yang berada di bidang hak milik intelektual (Intelectual property rights). Pemberian izin ini kadangkala disebut dengan pemberian izin lisensi.
            Perjanjian lisensi biasa tidak sama dengan pemberian (perjanjian) lisensi waralaba. Kalau pada pemberian (per janjian) lisensi biasanya hanya meliputi pemberian izin lisensi bagi penggunaan maerek tertentu. Sedangkan pada waralaba, pemberian izin lisensi meliputi berbagai macam hak milik intelektual, Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan pemerintah No 42 tahun 2007 tentang Wara laba ,  waralaba diartikan sebagai berikut  “Perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan menggunakan hak atas kekuasaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan barang dan atau jasa”
            Bila dibedah secara lebih mendalam terhadap pasal-pasal yang diatur dalam PP No.42 Tahun 2007 tersebut tidak dijumpai secara lebih mendetail bagaiamana prosedur, persyaratan  dan mekanisme pemberian lisensi waralaba tersebut. Akibatnya perjanjian waralaba di Indonesia seolah-olah bebas bisa dilakukan tanpa memperhatikan aspek kepentingan umum dan kepentingan bangsa dan Negara. Misalnya apakah ayam dalam produk KFC telah memenuhi syarat “halal“ dalam proses produksinya, sejak pemotongan sampai dihidangkan. Inilah aspek yang belum mendapat pengaturan secara cermat.
            Hal itu tentunya berbeda dngan produk yang bukan makanan yang tidak menyangkut “ halal dan haram”, akan tetap saja me-merlukan pengaturan tentang alih teknologinya. Misalnya : “Penjualan khusus suatu produk di suatu daerah tertentu (seperti mesin jahit) di mana produsen  harus memberikan latihan kepada perwakilan penjualan dan menyediakan produk informasi dan iklan, sementara ia mengontrol perwakilan yang menjual produk di daerah yang telah ditentukan”.[4] Semua nya ber tujuan untuk mempercepat alih teknologi.
            Menurut Syamin dalam Ensklopedia Nasional Indonesia pengertian Franchise atau sistem Franchise adalah sebagai berikut:
“Suatu bentuk kerjasama manufaktur atau penjualan antara pemilik Franchise dan pembeli Franchise atas dasar kontrak dan pembayaran royalty. Kerjasama ini meliputi pemberian lisensi atau hak pakai oleh pemegang Franchise yang memeliki nama atau merek, gagasan, proses, formula, atau alat khusus ciptaanya kepada pihak pembeli Franchise disertai dukungan teknis dalam bentuk manajemen, pelatihan promosi dan sebagainya. Untuk itu, pembeli Franchise membayar hak pakai tersebut disertai royalti, yang pada umumnya merupakan persentase dari jumlah penjualan”.[5]
            Selanjutnya pengertian Waralaba atau Franchise menurut peraturan Menteri Perdagangan No 12 tahun 2006 sebagai berikut:
”Waralaba adalah perkaitan antara pemberi Waralaba atau Franchise dan penerima Waralaba atau Franchise di mana penerima Waralaba atau Franchise diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba atau Franchise dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang di tetapkan oleh pemberi Waralaba atau Franchise dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi oprasional yang berkesinam bungan oleh pemberi Waralaba atau Franchise pada penerima waralaba atau Franchise”.
Perjanjian-perjanjian yang terdapat pada dalam waralaba tidak saja tentang perjanjian pemberian lisensi tetapi lebih dari itu. Masih ada perjanjian-perjanjian lain yang terkait dengan waralaba tersebut, seperti:

a.      Perjanjian tentang hutang piutang.
b.      Penyewaan tempat usaha.
c.       Perjanjian pembangunan tempat usaha.
d.     Penyewaan peralatan.[6]
Franchise pada dasarnya adalah sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchise dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada Franchise untuk melakukan usaha pendistribusian barang-barang dan jasa di bawah nama dan identitas Franchise dalam wilayah tertentu. usaha tersebut harus dijalankan dengan sesuai prosedur dan cara yang ditetapkan Franchise. Franchise memberikan bantuan (assistance) terhadap Franchise. Sebagai imbalanya Franchise membayar sejumlah uang berupa initial fee dan royalty.
Kata “Waralaba atau Franchise” pertama kali di kenalkan oleh lembaga pendidikan dan pembinaan Manajemen (LPPM) sebagai kata padanan kata Franchise. Amir Karamoy menyatakan bahwa Waralaba atau Franchise bukan terjemahan langsung Franchise. Dalam konteks bisnis, Franchis berarti pembebasan untuk menjalankan usaha secara mandiri di wilayah tertentu.
Memang istilah dan pengertian “Waralaba atau Franchise” yang merupakan padanan kata Franchise terasa kurang mantap. Meskipun demikian, untuk masya rakat luas di Indonesia, penyebutan istilah dan pengertian Franchishing masih terlalu asing sehingga makin cepat dan makin sering istilah dan pengertian Waralaba atau Franchise dipakai, diharapkan akan mengurangi keberatan-keberatan yang ada.
Sebungan banyaknya ketentuan dalam perjanjian Franchise menampakkan ciri-ciri inequabilityof bargaining power (daya tawar menawar) yang tidak seimbang, di dalamnya posisi franchisor hampir selalu berada di pihak yang lebih kuat dan sebaliknya menempatkan franchisee pada kedudukan yang lemah, maka tidak cukup menyerahklan pengaturan isi dari pada perjanjian Franchisee hanya atas dasar kesepakatan para pihak.

Waralaba dan Alih Teknologi
Sebagaimana diketahui bahwa objek perjanjian lisensi adalah apa yang termasuk dalam Hak Milik Intelektual (Intelectual Property Right) serta hak-hak lain yang berkaitan dengan masalah teknologi. Berdasarkan wujudnya Indonesia mengenal 3 (tiga) macam hak milik intelektual, yaitu hak cipta, hak paten, dan hak merek.
Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Ehrbar mengenai lisensi dan transfer of technology yang mengutip dari The National Instiute Property (INPI) yang memberikan 5 (lima) kategori dalam pengklasifikasian “licensing and the transfer of technolog” yaitu:[7]
a.       Licensing of trade marks (perizinan merek dagang)
b.      Licensing of patens (perizinan paten)
c.       industrial-technology agreements (related to the production of consumption goods) perjanjian industry-teknologi (yang berhubungan dengan produksi barang kosumsi
d.      Technical industrial-cooperation agreements (related to capital goods); and perjanjian teknis industry-kerjasama yang berhubungan dengan barang modal, dan
e.       specialized technical-service agreements (planning, implementation, in stallation, inspection, and prational support such as specialized engineering service). khusus teknis-perjanjian layanan perncanaan, implementasi, instalasi, inspeksi dan dukungan oprasional seperti jasa rekayasa khusus.
Kaitanya dengan apa yang telah diuraikan tersebut memang tidak dapat disangkal bahwa teknologi mempunyai peranan yang sangat penting. Karena itu, perlu mendapat perlindungan hukum bagi penemunya atau penciptanya. Disamping itu, juga perlu legalisasi dalam bentuk campur tangan Negara (pemerintah) dalam proses pengalihanya. Untuk dapat mendorong kegiatan ke arah penemuan baru, sudah jelas betapa pentingnya sistem perlindungan hukum atas penemuan atau penciptaan tersebut dengan cara memberikan hak paten.
Bisnis Franchise yang juga perlu mendapat perhatian karena menyangkuti penanaman modal, penggunaan teknologi, serta kemampuan berorganisasi dan manajemen. Khusus dalam kaitanya dengan teknologi sudah menjadi tekad bangsa Indonesia untuk menguasainya.
            Tekad bangsa Indonesia ini sesuai dengan kenyataan bahwa Negara-negara yang kemampuan ekonominya tinggi juga mempunyai kekuatan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Dapat dikatakan teknologi merupakan mesin pertumbuhan ekonomi. Sehingga dapat dikatakan bahwa penguasaan teknologi merupakan condition sine qua non  bagi pertumbuhan ekonomi.[8]
Namun, disadari sebagai bagian bagi bangsa-bangsa yang sedang berkembang, kemampuan bangsa Indonesia dalam penguasaan teknologi sangat terbatas. Dibandingkan dengan keterbatasan kemampuan modal, maka keterbatasan di bidang teknologi relative lebih sulit diatasi. Dengan demikian, salah satu kebijakan yang telah diputuskan adalah peningkatan kemampuan alih teknologi. Dari kebijakan di atas, maka jelas alih teknologi telah dinyatakan sebagai sasaran strategis bagi peningkatan kemampuan penguasaan teknologi, dengan melihat kenyataan bahwa pada umumnya kegiatan alih teknologi selalu menggambarkan aliran teknologi dari Negara maju ke Negara berkembang. Dengan demikian, harapan untuk memperoleh pengalihan teknologi hanya dapat digantungkan pada kerjasama dengan Negara-negara maju yang salah satu bentuknya melalui perjanjian waralaba.[9]
Dalam Undang-undang tentang Penanaman Modal ( UU Nomor 25 Tahun 2007) pasal 18 ayat (3 huruf d) menyatakan penanaman modal yang mendapat fasilitas, salah satunya harus memenuhi kriteria melakukan alih teknologi. Begitupula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi bahwa perjanjian waralaba harus mampu melindungi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan.

Franchise merupakan bentuk khusus dari perjanjian lisensi. Melalui perjanjian Franchise sistem bisnis tertentu menjadi objek perjanjian yang tidak terpisahkan dari perjanjian lisensinya, baik dalam bentuk pelatihan, bentuk tehnik,maupun manajemen. sejalan dengan lisensi sebagai cara yang paling sering digunakan dalam Kontrak-kontrak alih teknologi, sebagian bagian dari perjanjian lisensi dengan berbagai keistimewaan, Franchisepun merupakan sarana pengalihan teknologi. Dov Izraeli mengemukakan beberapa hal yang harus dimuat dalam perjanjian franchise, di antaranya:[10]
a.       Hak untuk menggunakan Trade Name, trade mark, dan nama baik franchisor.
b.      Hak untuk menggunakan penyusunan desain, paten, cara kerja, perlengkapan, dan pengembangan produk franchisor.
c.       Hak untuk menggunakan seluruh pusat pelayanan (The sentral services) kegitan pengembangan untuk membantu franchise. Hal ini meliputi pelatihan, konsultasi, manajemen, produksi, pemasaran, bantuan dan desain, pelaksanaan dan biaya atas konstruksi, dan perlengkapan yang di perlukan untuk melakukan bisnis, pusat pembelian dan penyaluran, barang/produk dengan harga yang lebih murah, periklanan dan teknik lain dalam promosi, pembukuan akutansi dan perencanaan asuransi.
d.      Hak eksklusif untuk beroperasi, di lokasi atau di daerah tertentu tanpa adanya kopetensi dari franchisor dan franchise lainnya.

Lisensi
Pada umumnya bagi negara-negara yang telah memiliki perundangan yang mengatur tentang perjanjian lisensi yaitu lisensi wajib, lisensi karena permufakatan dan lisensi karena berlakunya hukum.Lisensi wajib adalah lisensi yang didasarkan pada pengaturan pejabat pemerintah bentuk lisensi ini jarang dipergunakan.Lisensi karena permupakatan yaitu seorang atau badan hukum menerima lisensi boleh memberi suatu lisensi dibawah penemuan patennya kepada orang lain melalui suatu kontrak.[11]
Berdasarkan pada pernyataan di atas seseorang atau badan hukum dapat menggunakan teknologi orang lain untuk diproduksi, asalkan teknologi itu sudah melewati jangka waktu tertentu dan belum dilaksanakan di Indonesia dimana paten tersebut didaftarkan.Lisensi wajib ini diberikan tidak lain karena keperluan. Pasar dan penerima lisensi wajib untuk membayar royalti kepada pemegang paten dengan harga yang mereka sepakati bersama.Pasal 21 UU paten; Dalam suatu hal produk diimpor ke Indonesia dan proses untuk pemegang paten berhak untuk melindungi paten tersebut.Dengan demikian maka paten tidak dapat begitu saja ditiru dan dilisensi tanpa persetujuan pemegang paten asing pemegang paten asing masih dapat melakukan perlindungan hukum atas patennya di Indonesia.
Untuk itu kalau terjadi pejanjian lisensi antara pihak asing dan Indonesia dapat didaftarkan perjanjian tersebut kepada kantor paten. Bagaimana kalau para pihak mamakai asas konsensualitas dalam berkontrak dan mereka tidak mendaftarkan kontrak mereka ke kontor paten. Untuk itu diminta kepada investor asing untuk mendaftarkan lisensi tersebut kepada kantor paten agar kepentingan dapat terlindungi.[12]
Jenis-jenis Lisensi
a)      Lisensi Sukarela adalah lisensi yang diberikan oleh pemegang paten kepada pihak lain yang ingin mengeksploitasi paten tersebut secara sah dan dibuat berdasarkan perjanjian, yang pada dasarnya hanya bersifat poemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari paten yang bersangkutan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu pula.
b)      Lisensi wajib adalah lisensi untuk melaksanakan paten yang diberikan berdasarkan keputusan Ditjen HKI atas dasar permohonan. Ketentuan mengenai lisensi Wajib dalam undang-undang Paten diatur dalam Pasal 74 hingga Pasal 87. Menurut ketentuan Pasal 74, Lisensi Wajib diartikan sebagai lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal HKI. Ini berati Lisensi Wajib diberikan atas permohonan suatu pihak kepada Dierktorat Jenderal Hak ata Kekayaan Intelektual (HKI). Permohonan tersebut dapat diajukan oleh setiap orang setelah lewatnya jangka waktu 36 (tiga puluh enam ) bulan terhitung sejak tanggal pemberian paten dan diajukan kepada Dierktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual. Keputusan pemberian lisensi wajib harus diberikan dalam jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak permohonan diajukan.[13]
Pemberian Lisensi wajib  dicantumkan hal-hal sebagai berikut:
1.      Lisensi wajib bersifat non eksklusif.
2.      Alasan pemberian Lisensi Wajib.
3.      Bukti termasuk keterangan atau penjelasan yang diyakini untuk dijadikan dasar pemberian Lisensi wajib.
4.      Jangka waktu lisensi wajib.
5.      Besarnya royalti yang harus dibayarkan Pemegang lisensi wajib kepada pemegang paten dan cara pembayarannya.
6.      Syarat berakhirnya Lisensi wajib dan hal yang dapat membatalkannya;
7.      Lisensi wajib semata-mata digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam negeri.
8.      Lain-lain yang diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak yang bersangkutan secara adil.
Secara umum bahwa arti dari perjanjian  dalam KUHPerdata, perjanjian lisensi itu termasuk dalam jenis timbal balik. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1313 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau mana dua orang itu saling berjanjian untuk melaksanakan sesuatu hal.[14] Dari rumusan yang ada dalam pasal 1313 KUHPerdata tersebut mengandung makna bahwa dari sutau perjanjian timbul suatu kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih pihak (orang) kepada satu atau lebih pihak (orang) lainnya. Adapun peristia yang disebutkan oleh Subekti dalam pengertian perjanjian tersebut, akan menimbulkan suatu hubungan antara dua orang yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menimbulkan perikatan dua orang yang membuatnya. Dalam bentuk perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Suatu perjanjian atau perikatan hukum yang bdilahirkan oleh suatu perjanjian mempunya dua sudut: sudut kewajiban-kewajiban yang dipikul oleh lain pihak, yaitu hak-hak untuk menuntut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian. Perkataan mengikatkan diri ditujukan pada sudut kewajiban-kewajiban, sedangkan perkataan minta ditetapkan suatu perjanjian ditujuakn pada sudut hak-hak yang diperoleh dari perjanjian.[15] Pengaturan Lisensi sebagai bentuk perjanjian atau kontrak, tidak secara khusus didalam sistem hukum perdata Indonesia. Pengatran perjanjian atau kontrak secara umum didalam sistem hukum perdata di Indonesia duatrur dalam KUHPerdata Buku ke III dari pasal 1233 sampai dengan pasal 1864. Tidak dalam perkembangan nya lisensi hak paten masuk dalam kelompok kontrak-kontrak transaksi bisnis.
Lisensi itu sendiri merupakan suatu proses dimana pemilik dari suatu hak milik intelektual, yaitu licensor, memberikan keizinan kepada pihak lain, yaitu license untuk memakai hak milik intelektual dimaksud, dengan imbalan pembayaran royalti kepada licensor. Hak milik intelektual yang dapat dilisensikan dapat berupa paten , merek, hak cipta, atau rahasia dagang yang tidak dipatenkan.

Bab III

Kesimpulan
Secara teoritis, masuknya modal asing ke Indonesia dewasa ini ikut mendorong bangkitnya penanaman modal dalam negeri dengan memperhatikan keunggulan mutlak maupun komparatifnya. Investasi asing tersebut merupakan salah satu bentuk perdagangan internasional, baik itu antara negara, negara dengan pihak swasta asing, maupun antara swasta lokal dengan swasta asing.
Alih teknologi yang terjadi di Indonesia dalam rangka investasi asing langsung, ternyata tidak berjalan secara otomatis, artinya apa yang isyaratkan dalam pasal 11 dan 12 UUPMA tidak berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan bahwa pihak asing selalu berusaha mendapatkan keuntungan lebih dari investasi tersebut, sehingga alih teknologi yang dikehendaki oleh pihak nasional baru dapat direalisasikan apabila diadakan kontrak tersendiri untuk kepentingan tersebut.
            Lisensi bisa merupakan suatu tidakan hukum berdasarkan kesukarelaan atau kewajiban. Lisensi sukarela adalah suatu cara pemegang HaKI memilih atau memberikan hak berdasarkan perjanjian keperdataan hak-hak ekonomi hak kekayaan intelektual kepada pihak lain sebagai pemegang hak lisensi untuk mengeksploitasi. Lisensi merupakan cara pemberian hak ekonomi yang diharuskan perundang-undangan, tanpa memperhatikan apakah pemilik menghendakinya atau tidak.
Umumnya pemegang lisensi akan bernegoisasi dan mengadakan mufakat tentang pemberian pemanfaatan ekonomi HaKI dalam cangkupan lisensi. Cangkupan lisensi yaitu batasan mengenai apa yang dapat atau tidak dapat dilakukan pemegang lisensi terhadap HaKI yang dialihkan dan biasanya diuraikan dalam perjanjian lisensi. Perjanjian lisensi bisa merupakan kontrak-kontrak yang sederhana, pendek, atau panjang sangat detail bagaikan sebuah buku. Seringkali perjanjian lisensi merupakan perjanjian standar dimana pemilik HaKI (lisensor) menguasai isi dari kontrak dan tidak ada kemungkinan tawar menawar bagi penerima lisensi.




Selasa, 23 Juni 2015

Penyelesaian Sangketa Ketenagakerjaan (Hubungan Industrial)



Makalah Sangketa Ketenagakerjaan
Tentang
Jenis dan Penyelesaian Sangketa Ketenagakerjaan




Di Susun Oleh




Nama                         :           Jeffy Hutahaean


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hubungan Industrial pada dasarnya adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan antara pengusaha dengan pekerja.[1] Dalam hubungan tersebut memang tidak selamanya akan berjalalan lancar-lancar saja dalam arti tidak ada permasalahan yang timbul dari hubungan industrial. Ini terbukti dengan banyaknya pemberitaan di media massa saat ini yang memberitakan perselisihan-perselisihan di dalam hubungan industrial tersebut.

Banyak faktor yang menjadi penyebab dalam permasalahan atau perselisihan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha, yang antara lain adalah Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK atau karena tidak adanya pemenuhan hak-hak bagi pekerja. Namun, tidak hanya itu, permasalahan hubungan industrial juga bisa terjadi anatara para pekerja sendiri. Misalkan antara serikat pekerja dalam satu perusahaan.

Karena banyak perselisihan-perselisihan yang timbul dalam hubungan industrial tersebut, maka perlu di cari cara terbaik dalam menyelesaikan permasalah atau perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha atau pekerja dengan pekerja. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menyelesaikan masalah tersebut ? hal ini perlu dikaji secara komperhensif sehingga dalam hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha tercipta sebuah hubungan yang harmonis dalam upaya mewujudkan suasana ketenagakerjaan yang baik dan harmonis di negeri ini



B.     Rumusan Masalah

1.            Bagaimana Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia ?
2.            Apa saja cara-cara penyelesaian sangketa ketenagakerjaan?


BAB II

Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa, yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945.[2] Dari pengertian hubungan industrial di atas maka ada beberapa pihak-pihak yang terkait dalam hubungan industrial tersebut yang antara lain adalah pengusaha/pemberi kerja, pekerja/ buruh dan pemerintah.
Jadi perselisihan hubungan industrial adalah perselisihan yang menyangkut hubungan antara pengusaha dan pekerja, serta melibatkan pemerintah dalam upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentangpenyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang dimaksud perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pegusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.[3]
Adapun yang dimaksud dengan perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Sedangkan perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya keseuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau peraturan perusahaan atau perjanjikan kerja bersama, serta perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh satu pihak. Serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.[4]
Karena pihak-pihak yang terkait menurut definisi di atas hanya pengusha, pekerja,dan pemerintah maka di dalam hubungan industrial tersebut, ketiganya memiliki peranan atau fungsi masing-masing dalam hubungan industrial tersebut, antara lain :[5]
1.      Fungsi Pemerintah :
·         Menetapkan kebijakan
·         Memberikan pelayanan
·         Melaksanakan pengawasan
·         Melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2.      Fungsi pekerja/ buruh dan serikat pekerja/buruh
·         Menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibanya
·         Menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi
·         Menyalurkan aspirasi secara demokratis
·         Mengembangkan keterampilan dan keahlianya
·         Memajukan perusahaan
·         Memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya
3.      Fungsi pengusaha dan organisasi pengusahanya
·         Menciptakan kemitraan
·         Mengembangkan usaha
·         Memperluas lapangan kerja
·         Memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka demokratis dan berkeadilan
Dari peranan atau fungsi para pihak yang ada di dalam hubungan industrial tersebut, terlihat bahwa ada suatu hubungan yang saling membutuhkan antara pihak-pihak yang terkait dalam hubungan industrial tersebut. Dalam upaya menciptakan hubungan yang baik tersebut, maka diperlukan sarana-sarana yang diperlukan dalam hubungan industrial tersebut, adapun sarannya adalah sebagai berikut :[6]
a.       Serikat pekerja/buruh
b.      Organisasi pengusaha
c.       Lembaga kerjasama bipatrite
d.      Lembaga kerjasana tripatrite
e.       Peraturan perusahaan
f.       Perjanjian kerja bersama
g.      Peraturan perundang-undangan ketengakerjaan
h.      Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

Dari sarana yang ada dia atas maka dapat kita golongkan dalam dua (2) kelompok. Kelompok yang pertama adalah cara yang digunakan untuk mencegah adanaya perselisihan hubungan industrial (preventif) dan yang kedua adalah cara penyelesaian hubungan industrial bila terjadi permasalahan atau perselisihan hubungan industrial (represif).

B. JENIS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Tidak terlepas dari fungsi-fungsi pihak yang terkait di atas maka, sejatinya perselisihan hubungan industrial menyangkut permasalahan diantara ketiga pihak diatas. Maka berdasarkan pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, jenis perselisihan hubungan industrial meliputi :[7]
a.       Perselisihan hak
b.      Perselisihan kepentingan
c.       Perselisihan pemutusan hubungan kerja
d.      Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Denagan cakupan materi perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud di atas, penjelasan umum UU No.2 Tahun 2004 menjabarkan lebih lanjut bahwa perselisihan hubungan industrial pada pokoknya adalah sebagai berikut :[8]

1.      Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di perusahaan swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
2.      Pihak yang berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasi serikat pekerja/buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga dapat terjadi antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan.
3.      Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat oleh pihak yang berselidih (bipatrite).
4.      Dalam hal perundingan oleh pihak yang berselisih (bipatrite) gagal, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihanya pada instani yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
5.      Perselisihan kepentingan,  perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan penyelesaian perselisihan melalui arbitrase atas kesepakatan kedua belah pihak hanya perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Apabila tidak ada kesepakatan kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan melalui konsiliasi atau arbitarse, maka sebelum diajukan ke pengadilan hubungan industrial terlebih dahulu melalui mediasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya perkara perselisihan hubungan industrial di pengadilan.
6.      Perselisihan hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau arbitrase, namun sebelum diajukan ke pengadilan hubungan industrial terlebih dahulu melalui mediasi.
7.      Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial.
8.      Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung.
9.      Pengadilan hubungan industrial beradal pada lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada pengadilan negeri secara bertahap pada Mahkamah Agung.
10.  Untuk menjamin penyelesain yang cepat, tepat, adil, dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial yang berada pada linkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapanya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke pengadilan tinggi. Putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Adapun putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan merupukan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
11.  Pengadilan hubungan industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh majelis hakim yang beranggotakan 3(tiga) orang, yakni seorang hakim pengadilan negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc yang pengangkatanya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/ organisasi buruh.
12.  Putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
13.  Untuk menegakan hukum ditetapkan sanksi, sehingga dapat merupakan alat paksa yang lebih kuat agar ketentuan undang-undang ini ditaati.



Imam soepomo, menyebutkan jenis perselisihan perburuhan dibedakan antara perselisihan hak (rechtgeschil) dan perselisihan kepentingan (belangengeschil)[9]. Sedangkan menurut H.M Laica Marzuki, terdapat dua macam karakteristik perselisihan yang mewarnai karakteristik perselisihan yang mewarnai kasus-kasus perburuhan, yakni :
1.      Kasus perselisihan hak (rechtgeschil, conflict of right ) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian yang demikian itu, menitik beratkan aspek hukum (rechtmatigheid )  dari permasalahan, utamanya menyangkut pencederaan janji ( wanprestasi ) terhadap perjanjian kerja, suatu pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2.      Kasus perselisihan kepentingan (belangeschillen, conflict of interset ) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai syarat-sayarat kerja dan/atau keadaan perburuhan, utamanya menyangkut perbaikan ekonomis serta akomodasi kehidupan para pekerja. Perselisihan sedemikian menitikberatkan doelmatigheid permasalahan.

Karakteristik perselisihan hak, pada intinya perselisihan hak normatif atau hak atas hukum dalam hubungan kerja, yakni perselisihan yang menitikberatkan aspek hukum (rechtmatigheid ), sebagai akibat terjadinya pelanggaran/tidak dipenuhinya hak, perbedaan perlakuan atau penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan maupun perjanjian kerja bersama. Sedangkan karakteristik perselisihan kepentingan berkaitan dengan syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan, yang menitikberatkan pada kebijaksanaan (doelmatigheid ) permasalahan, di luar aspek hukum.[10]
Dari pendapat Imam Soepomo, Laica Marzuki dapat diketahui bahwa perselisihan hubungan industrial hanya berwenang untuk mengadili perselisihan hak saja. Mustahil dapat menyelesaikan perselisihan kepentingan. Perselisihan kepentingan hanya dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi, yaitu mediasi, konsiliasi atau arbitrase. Ketiga lembaga itu akan menyelesaikan dengan mencari win-win solution dalam bentuk kebijaksanaan. Apabila perselisihan kepentingan di selesaikan melalui jalur penyelesaian hubungan industrial, hakim peneyelesaian hubungan industrial akan menggunakan aturan hukum dengan menomorduakan kebijaksanaan yang dicapai melalui win-win solution .[11]

C. PROSEDUR PENYELESIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Dalam rangka upaya penyelesaian hubungan industrial dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara-cara yang di tempuh ditentukan oleh pihak-pihak yang bersengketa dalam perselisihan hubungan industrial itu sendiri. Secara garis besar ada dua cara yang dapat di tempuh dalam menyelesaiakn perselisihan hubungan industrial, yakni melalui pengadilan hubungan industrial dan yang kedua adalah di luar pengadilan hubungan industrial.

Adapun cara-cara yang dapat di tempuh di luar pengadilan hubungan industrial antaralain adalah bipatrit, konsiliasi, arbitrase dan mediasi. Cara-cara penyelesian perselisihan hubungan industrial ini sangat dianjurkan, karena tidak melalui pengadilan hubungan industrial yang pastinya akan lebih menyita waktu, biaya dang tenaga pada pihak-pihak yang bersengketa. Diantara penyeleseian perselisihan hubungan industrial antara lain :

1.      Bipartit
Definisi perundingan bipartit dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (UU PHI”) adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat, dan jangka waktu penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Setiap perundingan bipartit yang dilakukan antara pengusaha dan pekerja harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak. Risalah perundingan tersebut sekurang-kurangnya memuat:
nama lengkap dan alamat para pihak;
tanggal dan tempat perundingan;
pokok masalah atau alasan perselisihan;
pendapat para pihak;
kesimpulan atau hasil perundingan; dan
tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.
Dalam hal perundingan bipartit mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama tersebut mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian Bersama wajib didaftarkan oleh para pihak pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
Apabila Perjanjian Bersama yang telah dibuat tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dimana Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Apabila bukti-bukti upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan akan mengembalikan berkas-berkas tersebut untuk dilengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas. Dan setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi, mediasi atau melalui arbitrase. Dan apabila para pihak tidak menetapkan pilihan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan secara mediasi kepada mediator.[12]
2.      Konsiliasi
Pengertian konsiliasi sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian permasalahan hubungan industrial dalam pasal 1 angka 13 yang berbunyi “konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral”. Konsiliator sendiri juga di atur dalam pasal 1 angka 14 yang berbunyi “konsiliator hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.[13] Batas waktu konsiliasi ini di tentukan 30 hari.

3.      Arbitrase
Pengertian arbitrase sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian permasalahan hubungan industrial dalam pasal 1 angka 15 yang berbunyi “arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat kerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar pengadilan hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian kepada arbiter yang putusanya mengikat para pihak dan bersifat final”. Sedangkan arbiter sendiri adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri unuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaianya melalui arbitrase yang putusanya mengikat para pihak dan bersifat final. Untuk batas waktu arbitrase juga ditentukan 30 hari.
4.      Mediasi
 Mediasi menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian hubungan industrial dijelaskan pengertianya dalam pasal 1 angka 11 yaitu mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang mediator atau lebih mediator yang netral.[14] Sedangkan mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan menteri untuk bertugas melakukan mediasi yang mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Dalam hal ini mediator harus memenuhi syarat-syarat sebagai mediator, adapun syarat untuk menjadi mediator adalah :
a.       Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.      Warga negara Indonesia
c.       Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter
d.      Menguasai peraturang perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan
e.       Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
f.       Berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (1) dan
g.      Syarat lain yang di tetapkan oleh menteri

5.      Pengadilan Hubungan Industrial
Pengdilan Hubunga industrial menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang di bentuk di lingkungan peradilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusang terhadap perselisihan hubungan industrial.
Proses beracara di PHI, sebagaimana disebutkan Pasal 57 UU No 2/2004 adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Perbedaannya hanya terletak pada pokok gugatan, yaitu dalam surat gugatan hubungan industrial khusus perkara yang ada hubungannya dengan ketenagakerjaan. Selain itu, perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata, dalam penyelesaian sengketa melalui PHI hanya melalui dua tingkat pemeriksaan/persidangan, yaitu PHI sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tingkat Terakhir. Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Gugatan perdata yang diajukan dan diperiksa oleh hakim PHI ini terutama kasus perselisihan ketenagakerjaan yang tidak dapat diselesaikan di Tingkat Konsiliasi dan atau Tingkat Mediasi. Timbulnya perselisihan sampai terjadi gugatan ke PHI, umumnya adalah karena tidak terjadinya kesepakatan para pihak yang berperkara mengenai besar-kecilnya uang pesangon, uang jasa, ganti rugi perumahan dan pengobatan, dsb dalam perundingan di Tingkat Konsiliasi atau Tingkat Mediasi. Atau bisa juga karena salah satu pihak beperkara ingkar terhadap Perjanjian Bersama/Akta Perdamaian yang disepakati di Tingkat Bipartit, atau Tingkat Konsiliasi, atau Tingkat Arbitrase, atau Tingkat Mediasi. Kalau yang terakhir terjadi, maka salah satu pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua PHI.
Hakim kasasi adalah majelis hakim di Mahkamah Agung RI, terdiri atas satu Hakim Agung dan dua Hakim Ad-Hoc. Hakim Kasasi berwenang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hak dan PHK serta Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Arbitrase. Hakim Kasasi ini wajin mengeluarkan putusan paling lambat 30 hari kerja setelah menerima permohonan kasasi atau PK.
Kehadiran PHI ini tidak hanya merupakan aset hukum bagi dunia peradilan kita, tetapi juga merupakan kekuatan baru bagi pekerja dalam rangka mencari perlindungan hukum. Terlebih adanya putusan PHI berupa sita eksekusi. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi pengusaha yang berani bertindak semena-mena terhadap pekerjanya. Adalah harapan kita semua, dengan UU No 2/2004 dan PHI ini diimbangi peran serta konsiliator, arbiter, mediator, dan hakim PHI yang benar-benar menegakkan hukum dengan tegas, jujur, adil, bersih dari KKN serta netral (tidak memihak). Semua anjuran tertulis dari konsiliator, arbiter, dan mediator, maupun putusan PHI benar-benar berdasarkan atas hukum, keadilan, dan kepatutan.
Perselisihan perburuhan yang merupakan sengketa perdata itu, sudah saatnya dan sudah seharusnya diadili oleh peradilan umum sejak dari awal. Namun bagi pencari keadilan, Pekerja terutama, yang terpenting bukan pada institusi dan mekanisme penyelesaiannya, melainkan bagaimana hak-hak mereka dapat diperoleh secara wajar tanpa harus bersentuhan dengan keruwetan birokrasi dan calo keadilan. Kekhawatiran terhadap hal yang demikian adalah wajar, karena walaupun telah dilakukan penyederhanaan institusi dan mekanisme, PHI masih menggunakan Hukum Acara Perdata dalam pelaksanaan eksekusinya, baik eksekusi putusan PHI sendiri maupun eksekusi hasil mediasi, konsiliasi, dan arbitrase yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihaknya. Masalah eksekusi ini merupakan masalah yang sangat krusial, karena disinilah penentuan dan letak akhir sebuah proses. Menjadi tidak bernilai sebuah putusan jika sulit untuk dieksekusi. Dalam praktek peradilan kita, eksekusi bukanlah sesuatu yang "pasti" mudah dilakukan meskipun sebuah putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada tahapan ini masih banyak ruang yang menggoda terjadinya permainan yang memanfaatkan pihak yang bersengketa oleh oknum pengadilan. Oleh sebab itu sudah seharusnya pula dibentuk hukum yang baru mengenai eksekusi putusan pengadilan, setidaknya eksekusi putusan PHI, yang sekurang-kurangnya merupakan penyederhanaan waktu proses eksekusi. Selain itu pembentukan PHI pada setiap peradilan umum dalam wilayah yang padat industri harus menjadi perhatian Presiden agar tidak tertunda dan segera diwujudkan. Dengan demikian keberadaan PHI yang diharapkan dapat mewujudkan penyelesaian perselisihan perburuhan secara cepat, tepat, adil, dan murah, akan mampu merubah sikap pesimis dan anggapan masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan adalah identik dengan ketidakpastian dan biaya mahal, apalagi kekecewaan dan keraguan masyarakat semakin menggunung dengan merebaknya kasus mafia peradilan yang seperti tidak pernah berhenti. Oleh karenanya, jika penyelesaian perselisihan perburuhan masih tetap tidak efektif melalui PHI, maka tentu tidak ada bedanya penyelesaian melalui Badan Administasi Negara dengan Peradilan Umum. Ini adalah tantangan bagi penyelenggara PHI kepada masyarakat Indonesia, khususnya pihak-pihak yang terkait dalam masalah ketenagakerjaan.[15]










BAB III

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam rangka penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut, maka dapat dilakukan dengan dua cara penyelesaian. Pertama,melalui jalur di luar pengadilan hubungan industrial yang antara lain melalui mediasi, konsiliasi, bipatrite dan arbitrase. Kedua adalah melaluo pengadilan hubungan industrial











Wijayanti, Asri Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,  2009, Sinar Grafika Jakarta

Rusli Hardijan , Hukum Ketenagakerjaan 2003 Ghalia Indonesia, Jakarta

UU No.2 Tahun 2004 tentang  penyelesaian perselisihan hubungan industrial

Imam soepomo, 1985 pengantar hukum perburuhan, djambatan jakarta

Wijayanto setiawan, pengadilan perburuhan di indonesia, ringkasan disertasi, program pasca sarjana universitas airlangga surabaya, 2006,


Konsiliasi sebagai paradigma baru dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh : andari yurikosari