Makalah
Sangketa Ketenagakerjaan
Tentang
Jenis
dan Penyelesaian Sangketa Ketenagakerjaan
Di
Susun Oleh
Nama : Jeffy
Hutahaean
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hubungan Industrial pada dasarnya adalah suatu hubungan
hukum yang dilakukan antara pengusaha dengan pekerja.[1] Dalam hubungan tersebut
memang tidak selamanya akan berjalalan lancar-lancar saja dalam arti tidak ada
permasalahan yang timbul dari hubungan industrial. Ini terbukti dengan
banyaknya pemberitaan di media massa saat ini yang memberitakan
perselisihan-perselisihan di dalam hubungan industrial tersebut.
Banyak
faktor yang menjadi penyebab dalam permasalahan atau perselisihan hubungan
industrial antara pekerja dan pengusaha, yang antara lain adalah Pemutusan
Hubungan Kerja atau PHK atau karena tidak adanya pemenuhan hak-hak bagi
pekerja. Namun, tidak hanya itu, permasalahan hubungan industrial juga bisa
terjadi anatara para pekerja sendiri. Misalkan antara serikat pekerja dalam
satu perusahaan.
Karena
banyak perselisihan-perselisihan yang timbul dalam hubungan industrial
tersebut, maka perlu di cari cara terbaik dalam menyelesaikan permasalah atau
perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha atau pekerja
dengan pekerja. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menyelesaikan
masalah tersebut ? hal ini perlu dikaji secara komperhensif sehingga dalam
hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha tercipta sebuah hubungan
yang harmonis dalam upaya mewujudkan suasana ketenagakerjaan yang baik dan
harmonis di negeri ini
1.
Bagaimana Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
di Indonesia ?
2.
Apa saja cara-cara penyelesaian sangketa
ketenagakerjaan?
BAB II
Hubungan industrial
adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses
produksi barang dan/atau jasa, yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh
dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang
Dasar tahun 1945.[2] Dari
pengertian hubungan industrial di atas maka ada beberapa pihak-pihak yang
terkait dalam hubungan industrial tersebut yang antara lain adalah
pengusaha/pemberi kerja, pekerja/ buruh dan pemerintah.
Jadi
perselisihan hubungan industrial adalah perselisihan yang menyangkut hubungan
antara pengusaha dan pekerja, serta melibatkan pemerintah dalam upaya
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentangpenyelesaian
perselisihan hubungan industrial, yang dimaksud perselisihan hubungan
industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pegusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar
serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.[3]
Adapun yang
dimaksud dengan perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak
dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama. Sedangkan perselisihan kepentingan adalah
perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya keseuaian
pendapat mengenai pembuatan dan/atau peraturan perusahaan atau perjanjikan
kerja bersama, serta perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan
yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan oleh satu pihak. Serta perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat
pekerjaan.[4]
Karena
pihak-pihak yang terkait menurut definisi di atas hanya pengusha, pekerja,dan
pemerintah maka di dalam hubungan industrial tersebut, ketiganya memiliki
peranan atau fungsi masing-masing dalam hubungan industrial tersebut, antara
lain :[5]
1.
Fungsi Pemerintah :
·
Menetapkan
kebijakan
·
Memberikan
pelayanan
·
Melaksanakan
pengawasan
·
Melakukan
penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2.
Fungsi pekerja/ buruh dan serikat pekerja/buruh
·
Menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kewajibanya
·
Menjaga
ketertiban demi kelangsungan produksi
·
Menyalurkan
aspirasi secara demokratis
·
Mengembangkan
keterampilan dan keahlianya
·
Memajukan
perusahaan
·
Memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya
3.
Fungsi pengusaha dan organisasi pengusahanya
·
Menciptakan
kemitraan
·
Mengembangkan
usaha
·
Memperluas
lapangan kerja
·
Memberikan kesejahteraan
pekerja/buruh secara terbuka demokratis dan berkeadilan
Dari peranan
atau fungsi para pihak yang ada di dalam hubungan industrial tersebut, terlihat
bahwa ada suatu hubungan yang saling membutuhkan antara pihak-pihak yang
terkait dalam hubungan industrial tersebut. Dalam upaya menciptakan hubungan
yang baik tersebut, maka diperlukan sarana-sarana yang diperlukan dalam
hubungan industrial tersebut, adapun sarannya adalah sebagai berikut :[6]
a.
Serikat pekerja/buruh
b.
Organisasi pengusaha
c.
Lembaga kerjasama bipatrite
d.
Lembaga kerjasana tripatrite
e.
Peraturan perusahaan
f.
Perjanjian kerja bersama
g.
Peraturan perundang-undangan ketengakerjaan
h.
Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
Dari sarana
yang ada dia atas maka dapat kita golongkan dalam dua (2) kelompok. Kelompok
yang pertama adalah cara yang digunakan untuk mencegah adanaya perselisihan
hubungan industrial (preventif) dan yang kedua adalah cara penyelesaian
hubungan industrial bila terjadi permasalahan atau perselisihan hubungan
industrial (represif).
B. JENIS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Tidak
terlepas dari fungsi-fungsi pihak yang terkait di atas maka, sejatinya
perselisihan hubungan industrial menyangkut permasalahan diantara ketiga pihak
diatas. Maka berdasarkan pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, jenis
perselisihan hubungan industrial meliputi :[7]
a.
Perselisihan hak
b.
Perselisihan kepentingan
c.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja
d.
Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Denagan
cakupan materi perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud di atas,
penjelasan umum UU No.2 Tahun 2004 menjabarkan lebih lanjut bahwa perselisihan
hubungan industrial pada pokoknya adalah sebagai berikut :[8]
1.
Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di
perusahaan swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN)
2.
Pihak yang berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun
organisasi serikat pekerja/buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha.
Pihak yang berperkara dapat juga dapat terjadi antara serikat pekerja/serikat
buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan.
3.
Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat oleh pihak yang berselidih (bipatrite).
4.
Dalam hal perundingan oleh pihak yang berselisih (bipatrite) gagal, maka salah
satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihanya pada instani yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
5.
Perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh
yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dapat diselesaikan melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua
belah pihak, sedangkan penyelesaian perselisihan melalui arbitrase atas
kesepakatan kedua belah pihak hanya perselisihan kepentingan dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh. Apabila tidak ada kesepakatan kedua belah
pihak untuk menyelesaikan perselisihan melalui konsiliasi atau arbitarse, maka
sebelum diajukan ke pengadilan hubungan industrial terlebih dahulu melalui
mediasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya perkara perselisihan
hubungan industrial di pengadilan.
6.
Perselisihan hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau
arbitrase, namun sebelum diajukan ke pengadilan hubungan industrial terlebih
dahulu melalui mediasi.
7.
Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan
dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan hubungan industrial.
8.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dilakukan
berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke
pengadilan hubungan industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan
tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah
Agung.
9.
Pengadilan hubungan industrial beradal pada lingkungan peradilan umum dan
dibentuk pada pengadilan negeri secara bertahap pada Mahkamah Agung.
10.
Untuk menjamin penyelesain yang cepat, tepat, adil, dan murah, penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial yang
berada pada linkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapanya dengan tidak
membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke pengadilan tinggi. Putusan
pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang menyangkut
perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung
dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Adapun putusan pengadilan hubungan
industrial pada pengadilan negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan
merupukan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan
kasasi ke Mahkamah Agung.
11.
Pengadilan hubungan industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan
hubungan industrial dilaksanakan oleh majelis hakim yang beranggotakan 3(tiga)
orang, yakni seorang hakim pengadilan negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc
yang pengangkatanya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/
organisasi buruh.
12.
Putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri mengenai
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh
dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
13.
Untuk menegakan hukum ditetapkan sanksi, sehingga dapat merupakan alat paksa
yang lebih kuat agar ketentuan undang-undang ini ditaati.
Imam
soepomo, menyebutkan jenis perselisihan perburuhan dibedakan antara
perselisihan hak (rechtgeschil) dan
perselisihan kepentingan (belangengeschil)[9].
Sedangkan menurut H.M Laica Marzuki, terdapat dua macam karakteristik
perselisihan yang mewarnai karakteristik perselisihan yang mewarnai kasus-kasus
perburuhan, yakni :
1.
Kasus perselisihan hak (rechtgeschil,
conflict of right ) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian yang
demikian itu, menitik beratkan aspek hukum (rechtmatigheid
) dari permasalahan, utamanya
menyangkut pencederaan janji ( wanprestasi
) terhadap perjanjian kerja, suatu pelanggaran peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
2.
Kasus perselisihan kepentingan (belangeschillen,
conflict of interset ) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian paham
mengenai syarat-sayarat kerja dan/atau keadaan perburuhan, utamanya menyangkut
perbaikan ekonomis serta akomodasi kehidupan para pekerja. Perselisihan
sedemikian menitikberatkan doelmatigheid permasalahan.
Karakteristik
perselisihan hak, pada intinya perselisihan hak normatif atau hak atas hukum
dalam hubungan kerja, yakni perselisihan yang menitikberatkan aspek hukum (rechtmatigheid ), sebagai akibat
terjadinya pelanggaran/tidak dipenuhinya hak, perbedaan perlakuan atau
penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan maupun perjanjian kerja bersama. Sedangkan karakteristik
perselisihan kepentingan berkaitan dengan syarat-syarat kerja dan/atau keadaan
perburuhan, yang menitikberatkan pada kebijaksanaan (doelmatigheid ) permasalahan, di luar aspek hukum.[10]
Dari
pendapat Imam Soepomo, Laica Marzuki dapat diketahui bahwa perselisihan
hubungan industrial hanya berwenang untuk mengadili perselisihan hak saja.
Mustahil dapat menyelesaikan perselisihan kepentingan. Perselisihan kepentingan
hanya dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi, yaitu mediasi, konsiliasi
atau arbitrase. Ketiga lembaga itu akan menyelesaikan dengan mencari win-win solution dalam bentuk kebijaksanaan.
Apabila perselisihan kepentingan di selesaikan melalui jalur penyelesaian
hubungan industrial, hakim peneyelesaian hubungan industrial akan menggunakan
aturan hukum dengan menomorduakan kebijaksanaan yang dicapai melalui win-win solution .[11]
Dalam rangka
upaya penyelesaian hubungan industrial dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Cara-cara yang di tempuh ditentukan oleh pihak-pihak yang bersengketa dalam perselisihan
hubungan industrial itu sendiri. Secara garis besar ada dua cara yang dapat di
tempuh dalam menyelesaiakn perselisihan hubungan industrial, yakni melalui
pengadilan hubungan industrial dan yang kedua adalah di luar pengadilan
hubungan industrial.
Adapun
cara-cara yang dapat di tempuh di luar pengadilan hubungan industrial
antaralain adalah bipatrit, konsiliasi, arbitrase dan mediasi. Cara-cara
penyelesian perselisihan hubungan industrial ini sangat dianjurkan, karena
tidak melalui pengadilan hubungan industrial yang pastinya akan lebih menyita
waktu, biaya dang tenaga pada pihak-pihak yang bersengketa. Diantara
penyeleseian perselisihan hubungan industrial antara lain :
1.
Bipartit
Definisi
perundingan bipartit dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (“UU PHI”) adalah perundingan antara
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Perselisihan
hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui
perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat, dan jangka waktu
penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau
telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan
bipartit dianggap gagal.
Setiap
perundingan bipartit yang dilakukan antara pengusaha dan pekerja harus dibuat
risalah yang ditandatangani oleh para pihak. Risalah perundingan tersebut
sekurang-kurangnya memuat:
v nama lengkap
dan alamat para pihak;
v tanggal dan
tempat perundingan;
v pokok
masalah atau alasan perselisihan;
v pendapat
para pihak;
v kesimpulan
atau hasil perundingan; dan
v tanggal
serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.
Dalam hal
perundingan bipartit mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian
Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama tersebut
mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian Bersama wajib
didaftarkan oleh para pihak pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama. Perjanjian Bersama
yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
Apabila
Perjanjian Bersama yang telah dibuat tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak,
maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dimana Perjanjian Bersama
didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi
berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama,
maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi
untuk diteruskan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Dalam hal
perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Apabila bukti-bukti
upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit tidak dilampirkan, maka
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan akan mengembalikan
berkas-berkas tersebut untuk dilengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas. Dan
setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada
para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi, mediasi
atau melalui arbitrase. Dan apabila para pihak tidak menetapkan pilihan dalam
waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab di bidang
ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan secara mediasi kepada
mediator.[12]
2.
Konsiliasi
Pengertian
konsiliasi sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang
penyelesaian permasalahan hubungan industrial dalam pasal 1 angka 13 yang
berbunyi “konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi
adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
konsiliator yang netral”. Konsiliator sendiri juga di atur dalam pasal 1 angka
14 yang berbunyi “konsiliator hubungan industrial yang selanjutnya disebut
konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai
konsiliator ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan
wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.[13] Batas
waktu konsiliasi ini di tentukan 30 hari.
Pengertian
arbitrase sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang
penyelesaian permasalahan hubungan industrial dalam pasal 1 angka 15 yang
berbunyi “arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase
adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar
serikat kerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar pengadilan
hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang
berselisih untuk menyerahkan penyelesaian kepada arbiter yang putusanya
mengikat para pihak dan bersifat final”. Sedangkan arbiter sendiri adalah
seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar
arbiter yang ditetapkan oleh menteri unuk memberikan putusan mengenai
perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaianya melalui arbitrase
yang putusanya mengikat para pihak dan bersifat final. Untuk batas waktu
arbitrase juga ditentukan 30 hari.
4.
Mediasi
Mediasi menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2004
tentang penyelesaian hubungan industrial dijelaskan pengertianya dalam pasal 1
angka 11 yaitu mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi
adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang
mediator atau lebih mediator yang netral.[14] Sedangkan
mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan
menteri untuk bertugas melakukan mediasi yang mempunyai kewajiban memberikan
anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
Dalam hal
ini mediator harus memenuhi syarat-syarat sebagai mediator, adapun syarat untuk
menjadi mediator adalah :
a.
Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.
Warga negara Indonesia
c.
Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter
d.
Menguasai peraturang perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan
e.
Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
f.
Berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (1) dan
g.
Syarat lain yang di tetapkan oleh menteri
5.
Pengadilan Hubungan Industrial
Pengdilan
Hubunga industrial menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang di bentuk di
lingkungan peradilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi
putusang terhadap perselisihan hubungan industrial.
Proses beracara di PHI, sebagaimana disebutkan Pasal 57 UU No 2/2004 adalah
sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum.
Perbedaannya hanya terletak pada pokok gugatan, yaitu dalam surat gugatan
hubungan industrial khusus perkara yang ada hubungannya dengan ketenagakerjaan.
Selain itu, perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata, dalam penyelesaian
sengketa melalui PHI hanya melalui dua tingkat pemeriksaan/persidangan, yaitu
PHI sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan
Tingkat Terakhir. Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;di
tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;di tingkat
pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan di tingkat pertama
dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan.
Gugatan
perdata yang diajukan dan diperiksa oleh hakim PHI ini terutama kasus
perselisihan ketenagakerjaan yang tidak dapat diselesaikan di Tingkat
Konsiliasi dan atau Tingkat Mediasi. Timbulnya perselisihan sampai terjadi
gugatan ke PHI, umumnya adalah karena tidak terjadinya kesepakatan para pihak
yang berperkara mengenai besar-kecilnya uang pesangon, uang jasa, ganti rugi
perumahan dan pengobatan, dsb dalam perundingan di Tingkat Konsiliasi atau
Tingkat Mediasi. Atau bisa juga karena salah satu pihak beperkara ingkar
terhadap Perjanjian Bersama/Akta Perdamaian yang disepakati di Tingkat Bipartit,
atau Tingkat Konsiliasi, atau Tingkat Arbitrase, atau Tingkat Mediasi. Kalau
yang terakhir terjadi, maka salah satu pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan eksekusi kepada Ketua PHI.
Hakim kasasi
adalah majelis hakim di Mahkamah Agung RI, terdiri atas satu Hakim Agung dan
dua Hakim Ad-Hoc. Hakim Kasasi berwenang memeriksa dan mengadili perkara
perselisihan hak dan PHK serta Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan
Arbitrase. Hakim Kasasi ini wajin mengeluarkan putusan paling lambat 30 hari
kerja setelah menerima permohonan kasasi atau PK.
Kehadiran
PHI ini tidak hanya merupakan aset hukum bagi dunia peradilan kita, tetapi juga
merupakan kekuatan baru bagi pekerja dalam rangka mencari perlindungan hukum.
Terlebih adanya putusan PHI berupa sita eksekusi. Dengan demikian, diharapkan
tidak ada lagi pengusaha yang berani bertindak semena-mena terhadap pekerjanya.
Adalah harapan kita semua, dengan UU No 2/2004 dan PHI ini diimbangi peran
serta konsiliator, arbiter, mediator, dan hakim PHI yang benar-benar menegakkan
hukum dengan tegas, jujur, adil, bersih dari KKN serta netral (tidak memihak).
Semua anjuran tertulis dari konsiliator, arbiter, dan mediator, maupun putusan
PHI benar-benar berdasarkan atas hukum, keadilan, dan kepatutan.
Perselisihan
perburuhan yang merupakan sengketa perdata itu, sudah saatnya dan sudah
seharusnya diadili oleh peradilan umum sejak dari awal. Namun bagi pencari
keadilan, Pekerja terutama, yang terpenting bukan pada institusi dan mekanisme
penyelesaiannya, melainkan bagaimana hak-hak mereka dapat diperoleh secara
wajar tanpa harus bersentuhan dengan keruwetan birokrasi dan calo keadilan.
Kekhawatiran terhadap hal yang demikian adalah wajar, karena walaupun telah
dilakukan penyederhanaan institusi dan mekanisme, PHI masih menggunakan Hukum
Acara Perdata dalam pelaksanaan eksekusinya, baik eksekusi putusan PHI sendiri
maupun eksekusi hasil mediasi, konsiliasi, dan arbitrase yang tidak
dilaksanakan secara sukarela oleh para pihaknya. Masalah eksekusi ini merupakan
masalah yang sangat krusial, karena disinilah penentuan dan letak akhir sebuah
proses. Menjadi tidak bernilai sebuah putusan jika sulit untuk dieksekusi.
Dalam praktek peradilan kita, eksekusi bukanlah sesuatu yang "pasti"
mudah dilakukan meskipun sebuah putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pada tahapan ini masih banyak ruang yang menggoda terjadinya permainan yang
memanfaatkan pihak yang bersengketa oleh oknum pengadilan. Oleh sebab itu sudah
seharusnya pula dibentuk hukum yang baru mengenai eksekusi putusan pengadilan,
setidaknya eksekusi putusan PHI, yang sekurang-kurangnya merupakan
penyederhanaan waktu proses eksekusi. Selain itu pembentukan PHI pada setiap
peradilan umum dalam wilayah yang padat industri harus menjadi perhatian
Presiden agar tidak tertunda dan segera diwujudkan. Dengan demikian keberadaan
PHI yang diharapkan dapat mewujudkan penyelesaian perselisihan perburuhan
secara cepat, tepat, adil, dan murah, akan mampu merubah sikap pesimis dan
anggapan masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan adalah identik dengan
ketidakpastian dan biaya mahal, apalagi kekecewaan dan keraguan masyarakat
semakin menggunung dengan merebaknya kasus mafia peradilan yang seperti tidak
pernah berhenti. Oleh karenanya, jika penyelesaian perselisihan perburuhan
masih tetap tidak efektif melalui PHI, maka tentu tidak ada bedanya
penyelesaian melalui Badan Administasi Negara dengan Peradilan Umum. Ini adalah
tantangan bagi penyelenggara PHI kepada masyarakat Indonesia, khususnya pihak-pihak
yang terkait dalam masalah ketenagakerjaan.[15]
BAB III
Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam
rangka penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut, maka dapat
dilakukan dengan dua cara penyelesaian. Pertama,melalui jalur di luar
pengadilan hubungan industrial yang antara lain melalui mediasi, konsiliasi,
bipatrite dan arbitrase. Kedua adalah melaluo pengadilan hubungan industrial
Wijayanti, Asri Hukum Ketenagakerjaan Pasca
Reformasi, 2009, Sinar Grafika Jakarta
Rusli Hardijan , Hukum Ketenagakerjaan 2003 Ghalia Indonesia,
Jakarta
UU No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial
Imam soepomo, 1985 pengantar hukum perburuhan,
djambatan jakarta
Wijayanto setiawan, pengadilan perburuhan di
indonesia, ringkasan disertasi, program pasca sarjana universitas airlangga
surabaya, 2006,
Konsiliasi
sebagai paradigma baru dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial
oleh : andari yurikosari